Bab II
BAB
II
Kampung Rawa Belong, yang berada di
wilayah Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, mempunyai seribu kisah tentang
lahirnya tokoh legendaris, Bang Pitung. Pitung yang bernama asli Salihoen,
dikenal sebagai sosok yang berani melawan penindasan atas penjajahan Belanda.
Sebetulnya, ada beragam versi mengenai tempat kelahiran sosok pahlawan yang
lahir pada abad 19 tersebut. Ada yang menyebut lahir di Tangerang, ada pula
yang menyebut di Cakung, Jakarta Timur. Namun, Rawa Belong diyakini sejumlah
peneliti maupun sejarawan merupakan kampong sang Robin Hood dari Betawi,
menghabiskan masa kecilnya.
Berdasarkan sejarah lisan yang
mengalir secara turun temurun, diceritakan Pitung kecil mengisi kegiatannya
dengan bermain silat, lalu ketika masuk waktu Maghrib, pergi ke langgar untuk
sholat dan mengaji. Kedekatan emosional antara Rawa Belong dan Pitung, memang
tak bisa dibuktikan dari bukti jejak-jejak masa lalunya. Meski demikian di Rawa
Belong lah, banyak keturunan kerabat Pitung yang masih ada sampai sekarang.
Meski Pitung tidak menikah, tapi
darah keturunannya tetap ada, lantaran Pitung dilahirkan tiga bersaudara dari
pasangan Haji Piung dan ibunya bernama Mpok Pinah yang memang menetap di Rawa
Belong.Dji’ih, sepupu yang juga termasuk teman seperjuangan Pitung, juga
diyakini tinggal dan dimakamkan di Kemandoran, yang juga masuk wilayah Rawa
Belong. Hanya saja, serupa dengan Pitung, tak ada bekas peninggalan yang
tersisa tentang sosok Dji’ih yang namanya juga masih harum di seantero Rawa Belong.
Salah satu upaya untuk menjaga
kelestarian sejarah Si Pitung dilakukan warga Rawa Belong dengan membangun
Lembaga Agama dan Kebudayaan Sanggar Si Pitung, yang didirikan pada 1995. Di
sanggar yang terletak di Jalan Yusuf RT 004 RW 011 No 8, Rawa Bellong, Kebon
Jeruk, Jakarta Barat inilah, anak-anak serta remaja Rawa Belong menimba ilmu
mengaji dan silat khas Rawa Belong. Cingkrik, begitu aliran silat itu
tersohor.
Kampung Rawa Belong, yang berada di
wilayah Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, mempunyai seribu kisah tentang
lahirnya tokoh legendaris, Bang Pitung. Pitung yang bernama asli Salihoen,
dikenal sebagai sosok yang berani melawan penindasan atas penjajahan Belanda.
Sebetulnya, ada beragam versi mengenai tempat kelahiran sosok pahlawan yang
lahir pada abad 19 tersebut. Ada yang menyebut lahir di Tangerang, ada pula
yang menyebut di Cakung, Jakarta Timur. Namun, Rawa Belong diyakini sejumlah
peneliti maupun sejarawan merupakan kampong sang Robin Hood dari Betawi,
menghabiskan masa kecilnya.
Berdasarkan sejarah lisan yang
mengalir secara turun temurun, diceritakan Pitung kecil mengisi kegiatannya
dengan bermain silat, lalu ketika masuk waktu Maghrib, pergi ke langgar untuk
sholat dan mengaji. Kedekatan emosional antara Rawa Belong dan Pitung, memang
tak bisa dibuktikan dari bukti jejak-jejak masa lalunya. Meski demikian di Rawa
Belong lah, banyak keturunan kerabat Pitung yang masih ada sampai sekarang.
Meski Pitung tidak menikah, tapi
darah keturunannya tetap ada, lantaran Pitung dilahirkan tiga bersaudara dari
pasangan Haji Piung dan ibunya bernama Mpok Pinah yang memang menetap di Rawa
Belong.
Dji’ih, sepupu yang juga termasuk
teman seperjuangan Pitung, juga diyakini tinggal dan dimakamkan di Kemandoran,
yang juga masuk wilayah Rawa Belong. Hanya saja, serupa dengan Pitung, tak ada
bekas peninggalan yang tersisa tentang sosok Dji’ih yang namanya juga masih
harum di seantero Rawa Belong.
Salah satu upaya untuk menjaga
kelestarian sejarah Si Pitung dilakukan warga Rawa Belong dengan membangun
Lembaga Agama dan Kebudayaan Sanggar Si Pitung, yang didirikan pada 1995. Di
sanggar yang terletak di Jalan Yusuf RT 004 RW 011 No 8, Rawa Bellong, Kebon
Jeruk, Jakarta Barat inilah, anak-anak serta remaja Rawa Belong menimba ilmu
mengaji dan silat khas Rawa Belong. Cingkrik, begitu aliran silat itu
tersohor.
Cingkrik adalah silatnya khas Rawa
Belong. Istilah cingkrik sendiri muncul dari ungkapan Betawi, yaitu
‘jingkrak-jingkrik- atau ‘cingkrak-cingkrik’, yang berarti gesit dan lincah.
Keunikan silat ini adalah pelakunya yang selalu melompat-lompat layaknya kera.
Dari gerakan jejingkrakan itulah, nama Cingkrik akhirnya diabadikan.
Di kampung Rawa Belong Cingkrik
menjadi besar. Saat ini sedikitnya terdapat 200 murid yang saban hari mengaji
dan belajar silat di sanggar. Semuanya tanpa dipungut biaya. Soal darimana
pemasukan sanggar, itu berasal dari tiap-tiap undangan yang datang kepada
mereka untuk mengisi beberapa acara kebudayaan Betawi ataupun tiap acara
pernikahan Betawi yang menginginkan adat Betawi.
MENGENAL
SOSOK SI PITUNG
Pitung adalah pahlawan yang sangat
melegenda. Dia adalah si bungsu dari iga bersaudara, anak pasangan Piun dan
Pinah. Sebagian kalangan meyakini Pitung lahir di Rawa Belong pada 1874.
Diyakini pula dia meninggal ada usia 29 tahun, di tahun 1903, di daerah
Bandengan Utara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Sejak kecil dia
belajar mengaji dan silat di langgar yang ada di Kampung Rawa Belong.
Versi lain meyakini Pitung lahir di
Kampung Cikoneng, Tangerang. Pitung baru bermukim di Rawa Belong saat usia
delapan tahun ketika kedua orang tuanya bercerai. Ibunya menolak dijadikan istri
tua dan mengajak Pitung hijrah. Sang Ayah, Piun, tetap menetap di Cikoneng
bersama istri muda dan tetap bekerja pada tuan tanah Cikoneng.
Sejak remaja, Pitung mengembara ke
berbagai wilayah, seperti Tanah Abang, Penjaringan, hingga Banten. Di sana dia menimba
ilmu dan memperdalam agama. Masyarakat Betawi saat itu mengenal kewajiban,
pemuda Betawi harus bisa mengaji dan jago pukul. Salah satu ilmu yang
dipelajari Pitung adalah Rawarontek, yang didapatnya saat berguru kepada Haji
Naipin di Kampung Kemayoran.
Rawarontek merupakan ajian dari
gabungan tarekat Islam dengan jampi-jampi Betawi. Berkat ilmu itu, konon Pitung
menjadi tangguh lantaran mampu menyerap energy musuh-musuhnya. Pitung juga
memiliki ajian Halimun, yang membuatnya mampu menghilang dari pandangan
lawannya. Kesaktian Pitung makin lengkap saat ia memiliki ajian Pancasona, yang
membuatnya kebal dan akan tetap hidup selagi menyentuh tanah.
Aksi si Pitung dimulai saat sepulang
dari Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Uang hasil penjualan kambingnya dirampas
kelompok Daeng Marais alias Rais, jawara berdarah Bugis. Pitung takut pulang ke
rumah sebelum uangnya kembali. Dari situ, babak baru Pitung dimulai.
Aksi kelompok Pitung berlangsung
selama 16 bulan, sejak 26 Juni 1892 sampai 19 Oktober 1893. Pitung dan Dji’ih
merampok orang-orang kaya yang jahat. Salah satu balas dendamnya adalah dengan
merampok harta Haji Syaifuddin, seorang tuan tanah kaya di daerah Marunda,
Jakarta Utara. Rumah Haji Sayaifuddin yang diramnpok Pitung itulah yang
sekarang ditetapkan sebagai benda cagar budaya DKI Jakarta, dan diberi nama
‘Rumah Si Pitung’.
Hari terakhir si Pitung, mati
setelah ditembak dengan peluru emas oleh Schout van Hinne dalam suatu
penggerebekan. Peluru emas digunakan karena Pitung dikabarkan kebal dengan
peluru biasa. Begitu takutnya penjajah terhadap Bang Pitung sampai tempat dia
dimakamkan pun dirahasiakan.
Namun masyarakat Rawa Belong sejak
turun temurun percaya makan Pitung berada di sisi kanan depan Gedung Telkom,
Jalan Palmerah Utara No 80, Kebayoran Lama, Jakarta Barat. Meski terlihat tak
terawat, untuk waktu-waktu tertentu, banyak orang yang datang berziarah di
sini.
WANGI
PASAR BUNGA RAWA BELONG
Pasar Rawa Belong bisa menjadi
penyegar perjalanan menyusuri jejak Pitung. Konon, selesai berguru kepada Haji
Naipin, Pitung pulang ke Rawa Belong. Dia bekerja sebagai pengunduh (penebas)
dari pohon-pohon yang panen. Buah-buah yang dipetiknya lantas dijual di pasar
ini.
Pasar Rawa Belong kini maju pesat.
Pasar yang disebut-sebut ada sejak awal abad ke 19 ini menjadi salah satu
primadona Jakarta dan Indonesia. Luas lahannya yang mencapai. 1,4 hektar, Pasar
Bunga Rawa Belong dikenal sebagai pusat penjualan bunga terbesar di Asia
Tenggara.
Pasar Rawa Belong tepatnya berlokasi
di Jalan Sulaiman, Rawa Belong. Letaknya, tak jauh dari pertigaan Rawa Belong
yang membelah Rawa Belong lama di Jakarta Selatan dengan Palmerah di Jakarta
Barat. Memasuki pasar bunga ini, mata kita langsung dimanjakan jejeran ribuan
bunga yang siap dijual. Bunga didatangkan dari berbagai daerah, mulai Cianjur,
Blora, hingga dari Jawa Timur. Jika ditotal, ada 700 pedagang di pasar ini yang
berjualan secara turun temurun. Pasar Rawa Belong mencatat omzet Rp 40 miliar
per tahun dari tiap transaksinya.
RUMAH
SI PITUNG DI KAMPUNG MARUNDA
Orang menyebut bangunan rumah
panggung model Bugis Melayu yang terletak di Jalan Kampung Marunda Pulo, Kelurahan
Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara ini, sebagai Rumah Si Pitung. Rumah
yang mempunyai halama seluas 700 meter persegi ini kondisinya Nampak gagah dan
terawatt lantaran baru direnovasi dua tahun silam. Konon, model panggung tak
terlepas dari kondisi sejarah Marunda yang awalnya hingga sekarang masih
didominasi rawa-rawa yang ditumbuhi pohon bakau. Sebagian rumah warga lainnya
juga masih mempertahankan bentuk model rumah seperti ini.
Dari informasi di dinding itulah,
kesejatian bangunan ini didapat. Walaupun diberi nama Rumah Si Pitung,
sejatinya bangunan ini bukan rumah kelahiran atau milik keluarga Pitung. Rumah
panggung yang tak jauh dari Rumah Susun Marunda ini sebenarnya milik Haji
Syaifuddin, seorang tuan tanah asal Bugis yang rumahnya sempat dijarah Pitung
dan kawanannya. Selain merampok, di rumah ini Pitung juga sempat bersembunyi
untuk beberapa malam.
MASJID
SI PITUNG DI MARUNDA
Kampung Marunda Pulo memiliki masjid
tertua tempat si Pitung sempat singgah dan menuaikan sholat, Masjid Al Alam
Marunda. Kehadiran Pitung membuat masjid ini dikenal dan tersohor dengan nama
Masjid Si Pitung.
Masjid Al Alam berdiri sekitar abad
ke 16. Posisinya masih di Kampung Marunda Pulo, namun lebih dekat menuju bibir
Pantai Marunda, Jakarta Utara. Jaraknya hanya 200 meter dari Rumah Si Pitung.
Dalam beberapa catatan sejarah,
masjid ini dibangun Fatahillah pada 1527. Cerita waga setempat secara turun
temurun, konon Masjid Al Alam ini hanya dibuat dalam satu malam. Arsitekturnya
mengingatkan kita pada bangunan Masjid Agung Demak.Tak lengkap pula rasanya
jika berkunjung ke masjid ini tanpa mengambil air wudhu di Sumur Tiga Rasa.
Sumur kecil yang terletak persis di sisi sebelah kiri masjid. Nama sumur
diambil lantaran airnya memiliki tiga rasa : asin, pahit, dan payau rasa air
rawa
PANTAI
MARUNDA
Pantai Marunda berada 50 meter di
belakang Masjid Al Alam. Lokasinya menjadi salah satu tempat favorit wisata air
di Jakarta Utara. Konon, Pitung juga sempat menghabiskan waktu di pantai ini
untuk merenung dan mengasingkan diri. Pantai ini tak ada pasir karena pinggiran
pantai sudah dibangun dinding beton.
Pemandangan indah akan terlihat sore
hari saat kapal-kapal tongkang dari pelabuhan bersandar tak jauh dari pantai.
Di pantai ini, juga ada menu favorit penganan yang dibuat dari bahan
ikan-ikanan. Mulai dari ikan bakar, goreng, pecak, hingga bumbu rujak, ada
semua di sini. Para pedagang makanan berjejer sepanjang bibir pantai dengan
menyediakan jejeran meja untuk santap hidangan. Untuk tarif masuk pantai, cukup
rogoh kocek Rp 2000.
MASJID
AL ATIQ DI KAMPUNG MELAYU BESAR
Dalam kisahnya, Pitung sempat
berhasil lolos dari Penjara Meester Cornelis pada 1891. Setelah lolos berkat
kekuatan tenaga dalam, Pitung menyusuri Kali Ciliwung dan sempat singgah di
masjid Al Atiq yang terletak di Jalan Masjid, Kampung Melayu Besar, Tebet,
Jakarta Selatan. Konon, berdasarkan cerita dari turun temurun, masjid ini
memiliki karamah yang mampu membuat tempat ibadah ini tak mampu dimasuki bala
tentara Belanda.
Salah satu versi menyebutkan, masjid
ini pertama kali dibangun pada abad ke 16 oleh sultan pertama Banten, Maulana
Hasanuddin, yang berkuasa pada 1552-1570. Arsitekturnya serupa dengan Masjid Al
Alam Marunda dan Masjid Agung Demak.
Cingkrik adalah silatnya khas Rawa
Belong. Istilah cingkrik sendiri muncul dari ungkapan Betawi, yaitu
‘jingkrak-jingkrik- atau ‘cingkrak-cingkrik’, yang berarti gesit dan lincah.
Keunikan silat ini adalah pelakunya yang selalu melompat-lompat layaknya kera.
Dari gerakan jejingkrakan itulah, nama Cingkrik akhirnya diabadikan.
Di kampung Rawa Belong Cingkrik
menjadi besar. Saat ini sedikitnya terdapat 200 murid yang saban hari mengaji
dan belajar silat di sanggar. Semuanya tanpa dipungut biaya. Soal darimana
pemasukan sanggar, itu berasal dari tiap-tiap undangan yang datang kepada mereka
untuk mengisi beberapa acara kebudayaan Betawi ataupun tiap acara pernikahan
Betawi yang menginginkan adat Betawi.
Comments
Post a Comment